Ruang Diskusi Publik di Indonesia
Apakah negara demokrasi kita memiliki kebebasan berpendapat di realitanya? Apakah sudah terdapat ruang diskusi yang memadai?
Keadaan politik di Indonesia saat ini sering mengalami polarisasi setiap ada pemberitaan baru yang kontroversial dan besar. Partisipasi publik adalah sebuah kewajiban, karena kebijakan publik dalam negara demokrasi merupakan tanggung jawab seluruh elemen masyarakat. Di mana tempat kita berbicara untuk memberikan tanggapan?
Manik Marganamahendra, mantan Ketua BEM UI (21 November 2020 di live instagram @aksaraakarsa.itb), mengajak mahasiswa untuk berpartisipasi menanggapi isu sosial politik melalui platform manapun yang kita sukai. Tetapi dari pilihan-pilihan yang ada, sebagian besar masih belum bisa dikatakan partisipasi publik yang riil dan mempengaruhi pengambilan keputusan konstitusi ini.
Partai atau individu yang memiliki pendekatan sebagai representasi anak muda memang cenderung lebih mudah untuk diajak berdialog daripada yang mempernyatakan apa sumbangsihnya anak muda. Contohnya?
Meskipun demikian, bentuk interaksi 2 arah tersebut tetap bukanlah sebuah bentuk ruang diskusi publik.
Ruang diskusi publik yang terdapat pada konteks ruang publik (public sphere) abad ke-18 menurut Habermas (1989, dalam Nasrullah, 2015) memiliki 3 “kriteria institusi”:
1. Pengabaian terhadap status (disregard of status) atau menjauhi diskusi kritis tentang status. Dalam ruang publik perlu adanya kesempatan yang sama dalam mengungkapkan/mengkritisi sebuah realitas
2. Domain of common corcerns. Pada realita historis terdapat penguasaan penafsiran terhadap beberapa domain oleh otoritas yang berkuasa, padahal domain tersebut bisa dibincangkan dan melibatkan publik secara luas
3. Inklusif. Setiap anggota ruang publik, siapapun orangnya, dapat berkontribusi terhadap sumber-sumber dan pemahaman dalam diskusi yang sudah ada, dan dapat diakses oleh publik secara luas.
Ruang diskusi publik impulsif
Sebagian besar ruang diskusi yang dikonsumsi publik secara luas terjadi di kolom virtual (sosial media). Umumnya terjadi di kolom komentar berita, postingan insidental orang-orang terkenal, atau kajian isu populer yang diangkat akun-akun resmi yang besar. Sifat diskusi-diskusi tersebut merupakan tanggapan atas isu yang dibahas konten tersebut.
Analoginya adalah tanggapan-tanggapan yang ada untuk isu-isu sosial politik “viral” menanggapi sajian koran hari ini, menanggapinya sebagai sekedar bentuk persetujuan/ketidaksetujuan. Bukan melihatnya sebuah tema permasalahan yang ada di deretan rak perpustakaan yang sama.
Realitanya: hampir seluruh permasalah sosial politik yang ramai seperti hutang negara, polarisasi masyarakat, RUU kontroversial, membutuhkan kajian yang mendalam dan proses diskusi yang panjang, yang tidak bisa diselesaikan dengan memberikan pendapat personal di kolom komentar postingan yang lagi hangat.
Ruang virtual yang umum digunakan tidak pas digunakan sebagai ruang diskusi
Kolom-kolom virtual tadi, berdasarkan kriteria institusi Habermas, bukan merupakan ruang diskusi publik yang baik karena buruk dari segi inklusivitas. Setiap diskusi seringkali membutuhkan ruang untuk memberikan pemahaman yang komprehensif, sedangkan kolom-kolom ini sangat terbatas dalam kuantitas teks yang dapat diberikan, jika pun dipaksakan maka tidak memberikan visual yang nyaman untuk dibaca.
Pembahasan susah untuk progresif karena poin-poin argumen yang ada sulit untuk bertahan (contohnya tertimbun komentar lain yang out-of-topic).
Terbatas karena hanya dapat mengirim teks, sedangkan dalam pembahasan yang lebih berbobot terkadang membutuhkan data pendukung dalam format selain teks.
Secara keseluruhan, sulit terjadi penambahan informasi-informasi dan pengetahuan baru melalui kolom-kolom virtual ini.
Komparasi ruang diskusi publik lain
- Reddit. Platform diskusi yang memiliki fitur mirip seperti kaskus, memiliki kolom pencari dan kanal topik unik yang dapat dikembangkan oleh siapa saja dalam komunitas ini. Secara keseluruhan memenuhi 3 kriteria institusi Habermas. Siapapun bisa menjadi pengguna (u/) dan menjadi bagian dari komunitas ini, bebas untuk membagi apapun selama tidak melanggar peraturan (rules) dalam kanal (r/). Pengguna tidak dipaksa dalam bentuk apapun mengisi data personal, sehingga privasi maupun anonimitas dapat terjaga. Hal ini menjadikan diskusi yang terjadi benar-benar merupakan tanggapan atas argumen yang disampaikan, tanpa melihat status sosial yang dimiliki pengguna (disregard of status). Selain itu platform ini inklusif karena memungkinkan pengguna membagi berbagai jenis file digital dan memiliki sistem yang memudahkan untuk mencari komen terbaik dan membaca diskusi yang ada dengan mudah. Permasalahannya adalah platform ini dilarang di Indonesia karena alasan menyimpan konten pornografi di dalamnya.
2. Weiboo. Platform yang digunakan di China untuk saling berbagi informasi antar pengguna dalam bentuk post yang dapat dibaca oleh publik berdasarkan kategorinya. Saat pandemi kemarin, weiboo digunakan secara masif oleh penduduk China untuk menyampaikan keadaan lokal mereka, dan menerima informasi dari pengguna lain maupun akun institusi resmi yang ada.
Dalam koridor yang sama, kemunculan tren tanggapan non-ahli lebih banyak mendapat audience daripada yang ahli termasuk juga ke dalam isu ini. Permasalahan tertimbunnya pendapat ahli adalah karena untuk mendapatkan engagement yang lebih besar dan stabil, seseorang harus memiliki pengikut yang lebih besar. Umumnya memerlukan keterampilan membuat konten atau biologis bawaan individu, yang seringkali tidak terkait dengan kepakarannya. Ruang diskusi publik kita dalam konteks ini masih tergantung erat dengan status sosial masing-masing.
Ketika orang-orang berdiskusi tanpa memikirkan statusnya, namun hanya dilihat esensi pendapat yang disampaikan, maka masyarakat juga akan terlatih untuk menjadi lebih rasional dan logis. Lebih jauh lagi akan meningkatkan kapasitas SDM, dan solusi-solusi yang muncul ke publik lebih baik. Muara diskusi akan lebih menyatu karena perbedaan yang ada bukan menjadi pemisah namun menjadi perdebatan.
Semua ini berdasarkan asumsi bahwa tidak terdapat pembatasan partisipasi publik dan identitasnya terlindungi, yang sayangnya saat ini kondisinya bisa dipertanyakan/mungkin jawabannya terpampang jelas di sekitar kita.
P.S
Materi ini sudah dipublikasikan sebagai pamflet di OA BEM FT Undip 2020. Tulisan ini pun tidak berdasarkan berdasarkan kajian ilmiah yang mendalam dan lebih banyak berdasarkan observasi pribadi.
Daftar Pustaka:
Nasrullah, R. (2015). Internet dan Ruang Publik Virtual, Sebuah Refleksi atas Teori Ruang Publik Habermas. Komunikator, 4(01).